Tuesday, April 19, 2011

Pelajaran Yang Tidak Pernah Selesai

"Berburu kepadang datar, dapat rusa belang kaki, berguru kepalang ajar bagai
bunga kembang tak jadi". Terhirup aroma ilmu yang menyambangi pagi dari di
balik dinding-dinding merah putih yang semakin lama semakin tampak tak putih
lagi. Semua murid menatap Pak guru dengan khidmat, menunggu terjadinya
perpindahan ilmu, menerima segala nasehat-nasehat yang membuat mereka terpaku.
"Meraih bintang itu tidak mudah anakku, selalu ada bekal yang mesti di
persiapkan, rajin-rajinlah kalian membuka mata dan telinga untuk membaca segala
gejala pada alam semesta agar kita bisa mengerti bahwa mereka di ciptakan untuk
kita syukuri".

Tidak jauh dari sekolah kecil itu, seorang anak di pinggir kali, menumpuk
buku-bukunya diatas rumput. " oooiiii Aman kamu tidak sekolah !!" terdengar
suara teriakan seorang bapak dari tengah-tengah sawah di seberang kali " Tidak
Pak, aku mau bantu Bapak saja di sawah" jawab anak itu sambil buka baju dan
menumpuknya diatas buku. Anak itu kemudian menghampiri ayahnya yang sedang
mencangkul. " Mengapa kamu tidak sekolah Man, kamu bisa bodoh nanti " tanya
sang ayah penasaran. " Belajarkan bisa dimana saja Pak tidak harus di sekolah,
kata guru ngaji semalam yang menyelamatkan kita nanti di akhirat itu adalah
amal bukan ilmu" jawab Aman membela diri. Sang ayah berhenti mencangkul
mendengar bantahan anaknya " Setiap amalan itu harus berdasarkan ilmu nak,
Rasulullah sendiri memerintahkan kita untuk menuntut ilmu agar kita bisa
membedakan mana yang haq dan mana yang batil, mana yang bermanfaat dan mana
yang merugikan" kata ayahnya sambil memegang dada, seperti orang kesakitan.
Aman diam saja sambil terus mencangkul menggemburkan tanah yang akan ditanami.
Anak yang masih duduk di kelas tiga sekolah dasar itu terus berfikir apakah
nasib keluarganya akan berubah hanya karena merubah status dari tidak tahu
menjadi tahu, atau dari tidak paham menjadi paham ? seperti apa manfaatnya
mengetahui bahwa bumi mengelilingi matahari dengan apa yang bisa dia makan esok
hari.

Walaupun konsumsi perut dan kepala berbeda tetapi banyak juga orang membuat
keterkaitan satu sama lain. Para koruptor yang tergolong orang yang
berpendidikan dan memiliki pengetahuan yang cukup telah mengakomodasi seluruh
isi kepalanya untuk menuruti kemauan perutnya. Untuk pintar seseorang memang
harus sekolah, tetapi apa yang didapat setelah predikat pintar disandang, tentu
saja lebih dari sekedar mencari nasi tetapi juga tawaran dari berbagai posisi.
Tidak bisa di pungkiri lebih dari sembilan puluh persen tujuan akhir sekolah
adalah pencapaian materi, dan hanya sedikit yang menyisakan kepintaran untuk
sebuah dedikasi.

Ketika Aman pulang dari sawah siang harinya, dia berpapasan dengan Pak guru
yang pulang mengajar. Pak guru menanyakan mengapa Aman tidak masuk sekolah hari
itu, tapi Aman malah bertanya balik kepada Pak guru tersebut " Mengapa kita
harus belajar di sekolah Pak, bukankah ketika kita belajar ilmu pengetahuan
alam kita harus berada di alam terbuka agar kita tidak hanya sekedar mengetahui
tetapi juga memahami cara kerja alam semesta, ketika kita belajar ilmu sosial
maka kita harus berada di masyrakat dan menerapkan nilai sosial secara langsung
" . Pak guru hanya tersenyum mendengar nalar kritis dari muridnya " Benar Aman,
tapi semuanya mempunyai wadah. Tidak mungkin kita mengumpulkan semua murid di
pasar hanya untuk tahu ilmu pemasaran, Untuk mengetahui sesuatupun ada
prosesnya. Kita juga tidak bisa menggiring setiap orang pada apa yang kita
mau." Kata Pak guru tidak mau memperlebar masalah karena sekolah memang tempat
dibeku dan dibakukannya ilmu agar mudah disampaikan, tugas sang muridlah nanti
yang mencairkan dan menuangnya pada tempat yang diinginkan.

Pada malam harinya di pengajian ba'da maghrib Aman semakin di perkuat dengan
cerita dari guru ngaji yang diambil dari matsnawi Jalaludin Rumi. Dikisahkan
sorang petani yang hendak membawa sekarung gandum kepasar kesusahan
menyeimbangkan beban di punggung keledai miliknya dan untuk menyeimbangkannya
dia mengambil sekarung pasir untuk di letaknya disisi yang lain. Petani
tersebut pergi kepasar dengan memakan waktu lebih lama dari biasanya karena
beban yang ada pada keledai terlalu berat. Sewaktu beristirahat petani tersebut
bertemu dengan seorang yang berpakaian compang- camping mirip seorang pengemis
tetapi orangtersebut tidak mau disebut pengemis. Setelah berdialog dengannya,
petani tersebut sangat kagum dengan ketinggian ilmu dari orang tersebut. Salah
satu dari nasehat dari orang itu mengatakan bahwa beban yang diderita keledai
bisa di peringan dengan membagi dua gandum sehingga separuh disebelah kiri dan
sebelah lagi disebelah kanan dan bukan mengganti dengan pasir yang justru
memperberat beban keledai sehingga keledai tersebut berjalan dengan lambat.

"Kisanak sangat cerdas dan memiliki pengetahuan yang luas, sebenarnya apa
pekerjaan kisanank ?" kata petani tersebut penasaran dengan kehebatan orang
didepannya. " Saya tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, saya melangkah kemanapun
kaki saya mau" jawab orang tersebut acuh-tak acuh. " Lalu bagaimana dengan
keperluan sehari-hari seperti makan dan minum ?" tanya petani tersebut
penasaran. " Aku tidak pernah meminta tapi jika ada yang memberi aku terima
jika tidak maka aku akan puasa" jawab orang itu. Kemudian tanpa basa basi
petani tersebut pergi meninggalkan orang tadi. " Aku bisa saja bodoh tapi aku
mampu menghidupi diriku sedangkan kepandaianmu tidak berpengaruh apa-apa
terhadap dirimu, aku tidak suka medekati orang malas sepertimu" kata petani
tersebut dari jauh.

Aman menyimak dengan serius cerita dari guru ngajinya. "Anak-anaku hikmah yang
mesti diambil adalah bahwa banyak diantara kita yang berilmu tetapi ilmu itu
tidak bermanfaat baginya selain sebagai kebanggaan semata. Ada orang yang
mempunyai pemahaman agama yang sangat tinggi tapi ahlaknya tidak mencerminkan
apa yang telah dia pahami. Ada juga yang memiliki ilmu tetapi tidak tahu
bagaimana memanfaatkan ilmu tersebut seperti banyak sarjana yang dilahirkan
bangsa ini. Ada juga yang tidak berilmu tetapi dia di wakili oleh selembar
kertas yang mengatakan kalau dia berilmu, padahal tidak, dia sekolah hanya
untuk selembar kertas tersebut. Oleh sebab itu hati-hatilah anakku setiap apa
yang kita kerjaan akan dimintai pertanggung jawaban nanti oleh Allah SWT, apa
yang bapak ceritakan bukan membuat kalian jadi tidak mau sekolah untuk menuntut
ilmu, jangan jadikan kelemahan orang lain menjadi penghalang bagi kita untuk
berusaha, kita justru harus membuatnya berbeda" kata guru tersebut sambil
menutup kitab fiqih yang telah dikaji terlebih dahulu sebelum bercerita kepada
murid-muridnya.

Aman terdiam merenung dirumah, banyak orang yang salah kaprah dalam
memanfaatkan ilmu termasuk cerita lucu dari temannya yang ditugaskan pak guru
untuk mengganti tiang bendera yang patah " Nang tolong ukur dulu tinggi tiang
lama ya biar tidak kerja dua kali" kata pak guru kepada Nanang temannya. Nanang
lalu memanjat ting itu untuk mengukurnya." Kenapa harus naik Nang ? nanti jadi
patah lagi, cabut aja terus ukur di bawah" kata pak guru. " Loh tadi kan pak
guru menyuruh saya mengukur tinggi tiang bendera bukan panjang tiang " jawab
Nanang asal kena. Dalam matematika panjang dan tinggi hanya dibedakan oleh
posisi yang satu horisontal yang satu vertikal, tapi ketika jadi rumus kenapa
nampak begitu susah bagi anak-anak. Apakah pintar itu indentik dengan kesulitan
? pasti ada yang salah, pikir Aman.

Beberapa tahun kemudian setelah menamatkan kuliah di ITB bandung, Aman
mendedikasikan dirinya sebagai guru di kampung halaman tercinta dengan metode
penyederhanan, bahwa sehebat apapun masalah harus disederhanakan terlebih
dahulu untuk kemudian di pecahkan. Aman mendirikan sekolah Alam yang mengajak
murid-muridnya tidak hanya menerpkan prinsip 5W1H pada perbuatan tapi juga pada
pemikiran, bahwa apapun yang dipelajari harus bisa bermanfaat bagi diri maupun
orang lain. Hasilnya beberapa orang muridnya berhasil menduduki peringkat
tertinggi sekabupaten.

0 comments:

Post a Comment